Monday, October 24, 2011

mengapa koperasi di Indonesia sulit berkembang?


Ini mungkin pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang paling berani. Pekan lalu, di acara perayaan ulang tahun koperasi yang ke-60, Presiden mengatakan bahwa tidak ada tempat bagi sistem perekonomian berbasis kapitalisme dan neoliberalisme di Indonesia. Alasannya, kata Presiden, kedua ideologi tersebut tidak mampu menjamin kemakmuran bagi seluruh rakyat. Karena itu, Indonesia memilih ideologi terbuka yang berkeadilan sosial, dan koperasi merupakan wadah yang paling ideal.
Ketidakmakmuran yang dikemukakan Pre-siden di hadapan 7.000 anggota dan pengurus koperasi dari seluruh Indonesia adalah masalah ekonomi nasional, yang tentu tak ada sangkut-pautnya dengan paham atau sistem ekonomi. Oleh sebab itu, pernyataan Presiden itu harus kita artikan sebagai sikap keberpihakan pemerintah terhadap koperasi, yang sejak krisis ekonomi 1998 memang kurang mendapat perhatian.
Adapun soal ketidakmakmuran rakyat yang semakin memprihatinkan di negara ini, tidak mudah kita kaitkan dengan koperasi. Kalau mau realistis, harus diakui bahwa koperasi-koperasi kita masih jauh dari sehat dan belum siap memikul beban yang amat berat. Bahkan koperasi yang ada pun, ditaksir berjumlah 138.000, sekitar 30 persen di antaranya ”mati”. Jadi, langkah awal adalah menyehatkan koperasi yang ada. Jika upaya ini berhasil, maka langkah awal meningkatkan kesejahteraan rakyat sudah tercapai.
Kita harus mengakui, pemerintah telah berbuat banyak untuk memajukan koperasi. Di zaman Presiden Soeharto, misalnya, ada desakan agar para konglomerat menjual sebagian sahamnya kepada koperasi. Pemerintah pun membentuk sebuah departemen untuk koperasi. Tapi, harus diakui, selama ini orientasi dan strategi pembangunan ekonomi pemerintah lebih mementingkan segi pertumbuhan ekonomi, bukan pemerataan.
Di negara mana pun, termasuk Indonesia, yang menggunakan sistem pasar bebas, tujuan pertumbuhan ekonomi jauh lebih mudah dicapai dibandingkan dua hal tadi. Ini disebabkan dunia usaha, yang berorientasi pada profit dan yang selalu berpedoman pada peningkatan efisiensi terus-menerus, lebih mudah berkembang dalam iklim persaingan pasar bebas. Adalah tugas pemerintah, di negara mana pun juga, untuk memanfaatkan dan mengatur buah pertumbuhan ekonomi bagi kesejahteraan rakyatnya.
Kalau dewasa ini kita prihatin bahwa rakyat Indonesia masih jauh dari makmur, itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak berhasil memanfaatkan pertumbuhan ekonomi bagi kesejahteraan rakyatnya. Artinya, hasil pertumbuhan ekonomi yang telah meningkatkan kekayaan golongan ekonomi ”kuat”, lebih banyak digunakan untuk penumpukan modal. Sedang yang dipergunakan untuk program-program pemerataan masih kurang.
Perkembangan koperasi sebenarnya memerlukan kondisi sistem ekonomi yang memihak pada ”si miskin”, sehingga ada ruang gerak bagi pengembangan kegiatan koperasi. Tetapi strategi pembangunan kita lebih berorientasi pada pertumbuhan yang tinggi, secara tidak langsung ia memihak pada yang kuat karena peranannya sangat besar bagi per-tumbuhan. Sebagai contoh, lihat saja UU Sumber Daya Air dan UU Pertambangan di Kawasan Hutan. Dua UU ini lebih mengutamakan prinsip kapitalisme ketimbang kemakmuran rakyat. Inilah yang mungkin membuat koperasi tidak berkembang.
Indonesia memang bukan menganut kapitalisme, istilah yang dipakai untuk menamai sistem ekonomi Barat sejak runtuhnya feodalisme pada abad ke-16. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, kita sulit lepas darinya. Saham, bursa efek, suku bunga, hak paten, dan lainnya merupakan produk kapitalis. Bahkan Bukopin, yang sahamnya dimiliki induk koperasi, justru memanfaatkan pasar modal untuk mendapatkan dana murah. Padahal semua orang tahu,

pasar modal adalah salah satu simbol dari sistem kapitalisme.

No comments:

Post a Comment